Pagi beranjak. Matahari hendak memancarkan sinar aslinya dari ufuk timur. Sambut-menyambut suara kokok si ayam jantan. Wujud embun terlihat jelas. Hawa sejuk yang menggugah hati untuk keluar, melihat panorama yang indah luar biasa. Lukisan yang tidak bisa digambarkan dengan ungkapan apapun.
Hari ini adalah hari pertamaku mengenakan seragam putih abu-abu, duduk di bangku SMA yang ku idamkan sejak dulu. SMA Harapan namanya. Perasaan hatiku seperti gado-gado. Senang, takut, dan sedih. Aku senang karena telah lulus tes masuk di sekolah itu. Takut, aku takut bila prestasi yang telah ku raih akan menurun. Dan sedih, karena di SMA Harapan, tak ada satupun teman baikku sewaktu SMP yang bersekolah di sana.
Aku sudah tahu agenda pekan pertama di sekolah lanjutan. Pasti banyak kejadian aneh. Mulai atribut sampai kelakuan yang super aneh dan gila. Apalagi kalau bukan MOS. Aku sebal dengan kegiatan ini. Cukuplah ku alami di SMP. Tapi rasa itu cukup terobati. Karena aku masuk ke dalam kelas unggulan. Oh, bahagianya.
Tepat pukul 06.30 semua calon siswa dan siswi dikumpulkan di lapangan. Aku berdiri di tengah-tengah barisan. Sudah banyak yang kenalan. Tapi baru satu orang yang ku kenal. Cewek yang berdiri di sampingku. Ia berambut pirang,dan ada tahi lalat kecil di pipi kanannya. Cewek itu bernama Heni. Kelihatannya ia baik. Tapi sepertinya ia pendiam. Walaupun baru Heni yang ku kenal tapi pandanganku terarah pada orang yang berdiri di depan Heni. Baru kali ini aku melihat makhluk sesama jenis hingga terkesima. Paras wajahnya cantik, kulitnya putih, senyumnya indah sekali. Oleh sebab itu, banyak yang mengenalkan diri padanya. Baik cewek maupun cowok. Orangnya pun ramah. Aku yakin, dialah yang bakal menjadi cover majalah sekolah ini tahun depan.
Satu minggu terlewati sudah. Masa Orientasi Siswa(MOS) juga telah berlalu. Kini saatnya untuk menimba ilmu di SMA ini. Aku duduk di saf ke tiga baris ke dua. Padahal aku berniat menduduki tempat paling depan. Tapi apa boleh buat. Tempat tersebut telah ada penghuninya. Aku duduk sendiri. Heni memilih duduk di samping teman SMPnya dulu. Yang lainnya memilih duduk di samping orang yang sudah di kenal. Sedangkan aku, baru mengenal Heni. Heni pun tak duduk di sampingku. Huh, malangnya diriku.
Lima menit lagi bel akan berbunyi. Ku perhatikan cewek cantik nan manis itu belum datang juga. Semua meributkannya. Selang beberapa detik...
“Assalamu’alaikum, selamat pagi” suara itu bersumber dari bibir cewek cantik itu.
“Wa’alaikum salam,paaagi” semua menjawab. Suasana yang awalnya ramai menjadi hening seketika. Terasa terhipnotis dengan kecantikannya. Sebagian besar menawarkannya duduk di dekat mereka. Tapi aku tak tahu apa yang ada di pikirannya. Ia memilih duduk di sampingku.
“Maaf, aku boleh duduk di sini?” ia bertanya
“Certainly” jawabku,sambil menganggukkan kepala
Ini saatnya ku tanya namanya.
“Hei, nama kamu siapa?”
“Aku Mita, kamu?” ia balik bertanya
“Zaharani, kamu boleh memanggilku Rara!” aku meneruskan “Kalau boleh tahu, siapa nama panjangmu?”
“Selvia Paramita”
“Paramita?, kayak nama artis, siapa tuh?”
“O, itu Paramita Rosadi, beda donk!”
“Kalau menurutku kalian sama kok”
“Apa yang sama?”
“Sama-sama geulis”
“Ah, bisa aja” ia menjawab sambil tersenyum.
Teeet... bel berbunyi
Hari pertama belajar di sekolah paling hanya perkenalan. Itu yang ada di benakku. Dan ternyata benar. Ini kesempatan bagiku untuk lebih mengenal cewek yang duduk di sebelahku. Tinggi, cantik, dan baik. Dialah Mita. Aku menanyainya sampai seluk beluk kehidupannya. Dari keluarga, pengalaman di SMP dulu, sampai tentang pribadi cewek itu. Tapi Mita tak keberatan dengan segudang pertanyaan yang ku lontarkan padanya. Ternyata anaknya easy going. Dari gaya bahasanya seperti anak orang gedean.
“Mita, Kamu alumni SMP mana?”
“SMP Cahaya insani, emang kenapa?”
“keren..SMP itu favorit kan! Trus yang sekolah disitu rata-rata anak berduit pula!”
“Ah, gak segitunya kali! Emang kamu sekolah gak dikasih uang saku?”
“Dikasih sih..”sambil menggangguk
“Berarti kamu anak orang berduit juga,kan?”
“Bukan itu maksudku,eh by the way, prestasi kamu di SMP gimana?”
“Better lah, aku pernah meraih peringkat pertama!”
“Oh ya?, bisa jadi saingan nich!”
“Untuk hal positif,Why not?”
Enak sekali jadi dia. Cantik, baik dan pintar pula. Jadi iri rasanya. Aku ingin seperti dia. “Tapi apakah aku mampu?”. Yo wis lah, akan ku coba nanti.
***
Hari berlalu. Walau alam tak berubah. Tapi tekadku berbeda. Memang niatku ke sekolah untuk menuntut ilmu, tapi plus-plus. Plusnya ialah menggali semua rahasia di balik kecantikan dan keramahan teman baru yang duduk di sebelahku. Mudah-mudahan usahaku hari ini tak sia-sia. Amin.
Dengan santainya aku mengayuh sepeda bututku. Sampai gerbang sekolah, aku melihat seorang cewek keluar dari pintu mobil. Seperti aku kenal. Ternyata Mita. “gile, udah cantik, pinter, tajir abis lagi”gumamku mengaguminya
“Ta” aku memanggil cewek itu sembari menuntun sepeda.
“Hei,Ra kamu mengayuh sepeda ini?”
“Ya” Mita langsung bertanya “memangnya rumahmu dekat dari sini?”
“Cukup jauh”
“Kalau begitu,kenapa kamu gak naik angkutan umum atau motor saja?”
“Aku memilih sepeda ini karena walau butut begini, ada nilai sejarahnya loh!”. “Apa?” Mita tertarik dengan kalimatku.
“Nanti saja di kelas”
“Ta, yang tadi itu mobil kamu?”
“Bukan!”
“Masa iya itu angkutan umum?”
“Ya bukanlah, itu mobil bapakku!”
“Sama aja kan?”.
Mita menggelengkan kepalanya
Sungguh seperti manusia perfect orang ini. Ia mempunyai sifat rendah hati. Jarang orang kaya,kayak gitu. Makin menjadi-jadi rasa iriku padanya.
Sesampai di kelas Aku ceritakan kisah sepedaku...
“Sepeda itu pemberian ayah pada saat ulang tahunku yang ke-12. kata ayahku‘Walau butut begini. Tapi tarikannya, luarrr biasa, dan ada nilai sejarahnya’. Kalimat itu yang selalu ku ingat,Ta!”. Dan kalimat itu pula yang menghiburkan hatiku, kalau aku ingin punya sepeda atau motor baru.
Mita menyambung “lalu nilai sejarahnya apa?”.
Ku jawab “Begini, sepeda ini adalah barang antik turun temurun. Sepeda ini dipakai pertama kali oleh kakek buyutku. Trus sepeda ini juga pernah beliau pakai untuk perang dulu”.
“Wuih, luar biasa ya, berarti buyutmu seorang pejuang, tapi kok pakai sepeda?”. “ehm, Dulu, belum banyak rakyat biasa yang punya sepeda motor apalagi mobil!”. “Apa hubungannya?” Ia heran.
”Sepeda ini untuk menyelamatkan keluarga saat perang alias.... kabuuur”.
“Ha ha ha” kami tertawa.
“‘Semua itu akan ku ingat. Ya, sebagai humor kecil-kecilan lah, agar aku tak rendah diri dari orang kaya. Meskipun begitu aku tetap bersyukur kok”. Cewek semampai yang ada di sampingku terlihat serius mendengar ceritaku.
“Hebat kamu Ra, rasa PD mu tinggi!”. Senangnya dipuji sama orang yang sering dipuji.
***
Dulu, aku tak peduli dengan penampilan. Tapi entah kenapa sekarang jadi ingin berpenampilan seperti Mita. Walau ku tahu, aku tak sekaya dia. Saatnya ku beranikan diri untuk bertanya pada gadis populer itu. Aku optimis kalau dia mau memberitahu. Sesampainya di kelas aku langsung mengeluarkan sebuah bungkusan yang telah ku sampul dengan rapih. Untungnya Mita sampai lebih dulu. Tanpa pikir panjang, ku berikan bungkusan itu pada Mita seraya berkata “for you”. Namun, nampaknya Mita bingung.
“Hari ini aku tak berulang tahun,Ra”
“Siapa bilang ini kado ulang tahun”
“Trus dalam rangka apa ini?”
“Awal dari persahabatan”
“Thanks ya!”
“Ta, aku boleh tanya sesuatu sama kamu?”
“About?”
“Pribadi”
“Boleh”
“Kok, kamu pandai merawat diri,ya?”
“Maksudnya?”
“ya...bisa cantik seperti ini”
“Pantesan kasih kado, eh ada udang di balik batu”. Aku tersenyum malu dan meneruskan
“Aku memang ada sifat girly atau genit lah, so ada kiat-kiat khusus loh!”
“Yang pasti, bukan semedi atau jampe-jampe kan?”
“Ya, enggak lah, kamu tahu kan tempat biasanya sebagian kaum hawa memanjakan diri?”
“Salon?”. Mita langsung menjawab “Great”
Tanpa perlu di jelaskan lagi aku paham maksud pembicaraan Mita. “Ke Salon??” Perlu berpikir matang. Aku ingin cantik seperti Mita, mumpung masih dalam usia remaja. Tapi aku sadar aku tak seperti Mita. Mita memang sudah jelas-jelas anak orang kaya. Apa yang ia mau bisa ia dapatkan dalam waktu sekejap. Ini yang membuatku pesimis. Lagi pula apakah pantas aku merias wajahku ini yang pas-pasan?, ke salon juga membutuhkan biaya. Mending untuk bayaran SPP dan beli buku. Pfuh aku bingung.
Tak bisa dipungkiri, makin hari Mita makin cantik. Dua hari yang lalu ia mengajakku ke salon andalannya. Namun, aku menolaknya. Aku merasa tak pantas pergi ke salon semahal itu. Dan aku malu, belakangan ini ia sering mentraktirku, masa harus numpang dan shopping dengan barang miliknya. Memalukan. Namun terkadang aku bingung, kenapa seorang Mita diciptakan seperti manusia yang sempurna. Cantik, pintar,dan hidup dengan kemewahan. Sedangkan aku, hampir seratus delapan puluh derajat berbeda dengannya. Hampir setiap hari aku mengisi diary milikku dengan berjuta harapan. Diantaranya aku ingin berpenampilan cantik. Andaikan saja aku bisa seperti dia.
Melihat Mita semakin hari semakin catik, aku menjadi semakin ingin seperti dia. Tapi aku tetap menolak ajakannya untuk mengunjungi tempat memanjakan kaum hawa itu. Setiap aku ingin menerima ajakannya, saat itu juga aku teringat nasihat ibuku. “Pergunakanlah harta dan waktumu untuk hal-hal yang berguna,Nak”. Aku jadi tak mampu menerimanya.
***
Hari berganti hari. Bulanpun begitu. Pengumuman ujian semester ganjil telah ditempel. Tapi nampaknya, temanku yang satu ini santai bukan main. Pada saat sebelum ulangan harian saja tak pernah ku lihat ia membuka buku, apalagi membaca dan meghapal pelajaran. Anehnya, nilai yang ia peroleh selalu lebih tingi dari ku. Aku curiga. “Apakah ia pintar karena pengaruh genetik?,pantas saja karena kedua orang tuanya itu seorang cendekiawan, tapi kemungkinan itu tipis. Ataukah ada kecurangan?,ah gak mungkin!” pikirku.
Pagi-pagi sekali aku datang ke sekolah. Baru sampai di depan gerbang sekolah, sebuah suara klakson mobil terdengar jelas di telingaku. Aku tengok ke belakang, ternyata suara klakson itu mengarah padaku. Sepertinya itu mobil ayahnya Mita. Ternyata benar, supir yang iasa mengantarkan Mita ke sekolah menghampiriku.
“adek Zahra,kan?”
“Ya, mang udin yang suka nganterin Mita,ya?”
“Betul”
“Mita nya mana?”
“Maka dari itu, saya disuruh menitipkan surat ini pada adek, non Mita sedang sakit”Bapak separuh baya itu berkata sembari memberiku sepucuk surat. Lalu meneruskan “Terima kasih ya,Dek!”. Sebuah mobil hitam yang dibelakangku tadi melaju meninggalkanku. Sebegitu parahkah penyakit yang dialami Mita, hingga tidak masuk sekolah? Tanya dalam hatiku. Padahal ini hari pertama ujian semester berlangsung. Tapi dari pada memikirkan itu lebih baik buka buku.
Menjadi sahabat ternyata tidak gampang. Butuh pengorbanan. Ini yang kualami. Aku harus memberikan surat izin Mita kepada pengawas ruang sebelas yang ada di lantai tiga. Sedangkan aku ditempatkan di ruang lima di lantai dasar. Tentu aku harus naik turun tangga. Tapi tak apalah demi persahabatan.
Pekan ujian semester telah ku lalui. Selama itu juga aku tak melihat Mita. Aku bersama teman-teman yang lain berniat menjenguknya. Tapi sehari sebelum aku menjeguknya, aku meng-sms nya menanyai kabarnya. “Mita kamu sakit parah ya?”. Dia membalas sms ku “Mungkin bagi kamu ini masalah sepele, tapi tidak bagiku”. “Maksudnya?” aku tak mengerti apa yang ia maksud. “Penyakit yang sedang ku rasakan ini”. “Kalau jadi, besok aku dan temen-temen yang lain mau jenguk kamu, kamu gak keberatan kan?”. “Aku gak keberatan, tapi gak usah lah ngajak temen-temen. Kalau mau sendiri aja!”. “Oke dech”. Esoknya aku menceritakan semua pada teman-teman yang lain. Untunglah mereka percaya. Saat istirahat aku datang ke kantor Tata Usaha(TU) untuk menanyakan alamat rumah Mita.
Bel berbunyi hingga tiga kali. Saatnya pulang. Aku sudah dapat alamat rumahnya Mita. Ku telusuri semua jalan yang menuju rumahnya. Aku berhenti di depan sebuah rumah mewah yang diberi cat hijau muda. Di depan pagar rumah itu tertulis Jl Rembulan no.10. Tepat dengan apa yang ku tulis di kantor TU tadi. Ini rumahnya Mita. Sungguh seperti istana, mewah sekali. Pantaslah seorang Mita tinggal di sini. Belum sempat aku menekan tombol bel rumahnya, seorang ibu membuka pagar rumahnya.
“Assalamu’alaikum, apa benar ini rumahnya Mita?”
“Wa’alaikum salam, ya betul, neng siapa ya?”
“Saya Rara, temannya Mita”
Setelah percakapan singkat tadi, aku langsung di bawa ke kamar Mita. Tok..tok..tok, ibu itu mengetuk pintu kamar Mita. “Non, ada temannya nih!”. Sebuah suara menjawab “suruh saja dia masuk,Bi!”. Aku dipersilahkan masuk ke kamar seorang putri dalam istana itu.
“Zahra!” Mita memanggilku
“Hei Ta!”
“Sampai juga akhirnya”
“Kamu sakit apa,Ta. Kelihatannya kamu sehat-sehat aja”
“Kamu gak melihat wajahku?”
“Apa yang salah dengan wajahmu?”
“Ini”Ia berkata sambil menunjuk benjolan di pipinya
“jerawat?” Aku sangat terkejut.
“ya, jerawat ini yang menyiksaku hingga aku tak masuk sekolah”
“Hah...”Rasanya aku ingin pingsan dibuatnya. Apakah jerawat adalah penyakit yang termasuk dalam kategori parah??.hatiku bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiran sahabat baruku ini??.
Setelah aku mendengarkan cerita Mita, ia hendak mengambilkan air untukku. Ku pandangi semua sudut kamarnya yang warna merah muda. Aku melihat sebuah kardus yang tersampul yang berwarna serasi dengan warna dinding kamarnya. Aku penasaran apa yang ada di dalam kardus itu. Aku hampiri dan ku buka. Ternyata isinya adalah lipatan kertas-kertas kecil panjang yang berisi rangkuman dari semua pelajaran. “Apakah ini gaya belajar cewek pintar itu?”Hatiku gumamku pelan. Selang beberapa detik kemudian, Mita datang membawa nampan dengan air jus dan beberapa kaleng makanan diatasnya. Ia memergokiku yang sedang mengacak-acak kardus bersampul merah muda itu. Aku tak sadar kalau Mita telah membuka pintu kamarnya. Ia menghampiriku dan berkata “Sedang apa kamu?” dengan nada marah ia melotot padaku.
“Enggak!” aku menggeleng kepala. Aku gelisah.
Dia meletakkan nampan dan membuka pintu sambil berkata “Silahkan”
Tanpa pikir panjang, aku ambil tas ku dan membalas “Tanpa di usir aku akan pulang”
Baru kali ini aku melihat seorang siswa yang tidak masuk sekolah, hanya karena jerawat yang hinggap di pipinya.Oh My God... Sungguh bodoh aku tertipu olehnya karena kecantikan semata. Akupun dapat menyimpulkan, bahwa selama ini aku salah menilainya. Gulungan kertas itu bagaikan jimat yang mengantarkan Mita mendapatkan nilai bagus. Pantas ia marah padaku ketika aku mengacak-acak kardus itu. Ku lebih yakin lagi, karena setiap ada ulangan, ia selalu bercermin. Cermin itu tidak boleh ada yang pakai selain dia. Mungkin ada gulungan-gulungan kertas yang ia selipkan pada cermin cantik miliknya. Aku yakin suatu saat kebohongannya akan terungkap. Aku sangat kecewa karena orang yang ku banggakan takut reputasinya jatuh sebagai cewek cantik di sekolah, dan sebab musababnya hanya karena jerawat. Benar-benar tak masuk akal. Kini, aku sadar bahwa Allah itu adil. Dia menciptakan makhluknya pasti ada kelebihan ada pula kekurangannya. Sekarang motto-ku adalah “No bodies perfect”. So, tak perlu lagi meniru kecantikan orang lain. PD aja lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar